Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia
masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan
film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman
Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an
yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang
khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi
tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana
yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak
kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop
selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu.
Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928)
pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan
Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Sejak tahun 1931,
pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara
lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Bunga Roos dari Tjikembang (1931)
akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu
antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesie Malaise (1931).
Pada awal tahun 1934, Albert Balink,
seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan
hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara
untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken,
untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang
Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari
film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini
rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam
kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut.
Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.